Kasus Valencya di Karawang Jadi Acuan

Jaksa Agung Diminta Cabut Tuntutan 3 Tahun Penjara Penatua Gereja Kasus Beli Anjing untuk Lauk Makan

George Jintar Simamora (47 Tahun), Diseret oleh Polisi dan Jaksa ke Pengadilan Negeri Lantaran Membeli Anjing Dari Pemburu Liar dan Mengkonsumsinya Dengan Keluarganya. Jaksa Menuntut Dirinya Dihukum 3 Tahun Penjara

Beritariau.com, Pekanbaru - Kasus beli Anjing untuk makan sekeluarga karena dituduh pelaku penadahan sedang bergulir di Pengadilan Negeri Pekanbaru. Terdakwa bernama George Jintar Simamora (47 tahun) dituntut tiga tahun penjara.

Kejaksaan Negeri Pekanbaru menuntut George yang juga Penatua salah satu gereja Batak di Pekanbaru itu, yaitu HKBP dengan Pasal 480 ayat (1) KUHP pada Selasa (30/5/2023). Perkara ini dari  Kepolisian Sektor Payung Sekaki Kepolisian Resor Kota Pekanbaru Kepolisian Daerah Riau.

Sedangkan kedua prang Pemburu Anjing Liar yang dijerat kasus Pencurian Pasal 363 KUHPidana ayat (1), yakni Arpan Iwan Siagian dan Firman Butar-Butar dituntut 4 Tahun 6 bulan Penjara oleh Kejaksaan Negeri Pekanbaru.

(Baca : Warga Batak Kristen Pekanbaru Kecam Polisi dan Jaksa Menjerat Sintua Gereja 3 Tahun Bui Kasus Anjing)

Wakil Ketua Bidang Hukum DPD Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) Riau, Manuhar Silaen, SH. mengatakan, George sempat ditahan sekitar satu bulan di Polsek Payung Sekaki pada akhir 2022 lalu.

George kemudian dilepaskan. Tetapi saat pelimpahan Tahap 2 dari Polsek Payung Sekaki, Kejari Pekanbaru menahan George kembali sejak Maret 2023. Mendekam sampai sekarang.

Ia mengecam penerapan Pasal 480 terhadap orang yang dihormati di salah satu gereja hanya karena tuduhan memakan anjing curian. Seakan makan anjing lebih jahat dari koruptor dan penadah kendaraan curian.

"Dari beberapa perkara yang ditangani Kejari Pekanbaru, banyak terdakwa yang dituntut jauh lebih ringan. Seperti penadah hasil curanmor bahkan korutor," kata Manuhar didampingi Wakil Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi, Fernando Sihombing, SH. pada Sabtu (3/6/2023).

Sebelumnya, kepolisian dan kejaksaan pernah beberapa kali menerapkan Restorative Justice dalam perkara pencurian dan penadahan. Tetapi tidak diterapkan untuk George, seakan-akan mengkonsumsi anjing sebagai lauk merupakan bagian dari sindikat.

Penanganan perkara-perkara yang lebih besar lainnya bahkan tidak menyentuh penadah. Seperti pencurian Kelapa Sawit atau hasil perkebunan dari kawasan hutan yang tidak sampai sampai menjerat pemilik peron penampungan hingga Pabrik Kelapa Sawit (PKS).

Manuhar mengatakan, kali ini penegakan hukum yang terkesan dipaksakan justru dialami seorang Penatua alias Sintua. Menurut dia, kata "Penatua" terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Penatua artinya, anggota pengurus gereja untuk membantu tugas pendeta. Penatua berasal dari jemaat biasa membutuhkan proses panjang untuk dapat ditabalkan atau dilantik menjadi Penatua.

"Penatua itu disebut juga Sintua adalah seorang dihormati oleh jemaat. Bapak George makan anjing sebagai lauk, dibilang penadahan. Ini jelas pelecehan," tandasnya.

Ia mengatakan, memakan daging anjing sudah membudaya bagi masyarakat Batak Kristen. Menurut dia, masyarakat Batak Kristen menganggap daging anjing berguna bagi kesehatan. Bahkan dipercaya sebagai obat.

"Masyarakat Batak Kristen menganggap sup dan daging anjing bisa menaikkan imun dan bisa membantu pengobatan demam berdarah. Termasuk saat Covid dulu, daging anjing dianggap dapat mempercepat pemulihan," ujarnya mencontohkan.

Terkait asal usul anjing yang dimakan George dan keluarga, tidak bukti. Sementara dalam Pasal 480, barang bukti harus dihadirkan mulai dari penyidikan sampai persidangan.

"Tidak ada alat bukti yang cukup untuk meyakinkan bahwa terdakwa membeli anjing curian. Ini malah dijerat penadahan," tandas Manuhar yang pernah memimpin pemuda/i HKBP se-Distrik 22 Riau ini.

Manuhar menegaskan, GAMKI Riau tidak membenarkan pencurian anjing. Banyak anggota GAMKI dan masyarakat Batak Kristen yang memelihara anjing di rumahnya.

"Tapi konteks ini, orang makan anjing karena kebiasaan dan selera, malah dituduh penadah dan dituntut 3 tahun penjara," katanya.

Baik penyidik pada kepolisian dan jaksa tidak pernah membuktikan bahwa anjing yang dimakan George dan keluarga benar-benar milik Mery Gho. Baik di tingkat penyidikan, hingga persidangan.

Pemilik mengklaim kepemilikan hanya dengan kuitansi pembelian. Tanpa sertifikat karena alasannya jenis campuran. Sertifikat ibarat akte lahir. Untuk membedakan jenis campuran atau ras tertentu, ada caranya.

Anjing ras tertentu harus dibuktikan dengan empat generasi di atasnya tanpa perkawinan campur. Yaitu perkawinan ras yang satu dengan ras lainnya.

"Nggak bisa asal bilang anjing campuran, sehingga tidak ada sertifikat," katanya. Anjing tersebut dalam keterangan Mery Gho, dibeli dari Equator Pet House Pekanbaru.

Perbedaan jenis anjing dilihat dari kekhasan pada fisiknya. Kadang antara ras tertentu dan campuran sulit dibedakan. Apalagi hanya melalui video dari kamera CCTV dan foto.

Manuhar mengatakan, George menjadi korban dari perasaan yang menganggap anjing sudah sebagai anak atau bagian dari keluarga. Padahal belum ada aturan yang berlaku tentang pengangkatan anjing sebagai anggota keluarga.

"Kalau anjing sudah dianggap anaknya, ya dirawat baik-baik. Tidak dibiarkan di luar rumah saat malam hari," tandasnya.

Kini, lanjut dia, perasaan George dan keluarga hancur. Dipenjara karena rasa dendam kepada pemakan anjing. Sampai-sampai perkara dipaksakan tanpa mempertimbangkan lagi aspek-aspek penegakan hukum dan kemanusiaan.

Oleh karena itu, Manuhar menyatakan, GAMKI Riau mendesak Jaksa Agung melakukan eksaminasi agar tuntutan dicabut. Sebab George adalah korban kriminalisasi.

Menurut dia, tidak ada unsur pidana yang dilakukan George. "Bapak Kapolri dan Jaksa Agung harus tahu ini," katanya. Pencabutan tuntutan sebelumnya pernah dilakukan Jaksa Agung terhadap kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Terdakwa Valencya alias Nengsy Lim dilepaskan dari tuntutan pada November 2021. Sebab ia didakwa hanya karena memarahi suaminya mabuk. (*)