Respon Cepat Kejaksaan Tinggi Riau Dinanti
Sambut Perpres Kawasan Hutan, LSM Amatir Laporkan Korupsi Kebun Sawit Ilegal PT Palm Lestari Makmur

ilustrasi
Pekanbaru - Merespon cepat keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan yang ditetapkan Presiden Prabowo Subianto pada 2 (dua) pekan silam, LSM Amanah Rakyat Indonesia (AMATIR), Selasa (04/02/2025) siang, melaporkan dugaan Tindak Pidana Korupsi Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit yang mengakibatkan kerugian perekonomian negara.
LSM Amatir secara resmi melaporkan Perusahaan Perkebunan PT Palm Lestari Makmur (PLM) di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau.
"Kita laporkan secara resmi ke Kejati Riau. Kegiatan usaha Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit dengan berbagai cara membuat dokumen-dokumen kelengkapan perizinan untuk terbitnya sejumlah Izin dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan atas penguasaan lahan dalam kawasan hutan. Kemudian dari hasil kejahatan penguasaan lahan secara melawan hukum itu diperoleh Omzet Penjualan TBS (Tandan Buah Segar)," ungkap Ketua Umum LSM Amatir, Nardo Pasaribu SH kepada wartawan.
Diuraikannya, bahwa PT PLM sengaja melakukan kegiatan perkebunan tanpa Izin Menteri di dalam kawasan hutan seluas sekitar 2.085,69 Hektar (Ha). "Areal tersebut berada dalam Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan yang Dapat Dikonversi (HPK)," sebut Nardo.
PT PLM hanya mengantongi sejumlah izin, antara lain ; Izin Lokasi Nomor 34 Tahun 2007 dari Pemerintah Kabupaten Inhu, Izin Usaha Perkebunan Nomor 38 Tahun 2007 dan lainnya. Namun, tidak memiliki izin dari Menteri Kehutanan.
"(Izin) Dari Menteri Kehutanan tidak ada. Sejak itu bahkan tahun 2011, perusahaan berupaya memperoleh izin Menteri namun tetap tidak diterima. Berulang kali berupaya,namun hingga laporan ini kami layangkan, Izin Hak Guna Usaha (HGU) nya tidak ada," paparnya.
Meski tidak ada izin HGU, sambungnya, pihak perusahaan tetap menjalankan usaha.
LSM Amatir melaporkan, pada tahun 2021 saja PT PLM tercatat sukses meraup omzet sekitar Rp10 Milyar lebih dari Penjualan Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit yang dihasilkan dari Pengelolaan lahan milik negara tanpa Izin.
"Selama sekitar 4 (empat) tahun sejak dari tahun 2021 hingga tahun 2024, bahwa akumulasi perhitungan pendapatan terhadap Penjualan TBS mereka tercatat mencapai Rp40 Milyar. Itu baru 4 tahun, belum dihitung sejak mulai menanam tahun 2007 dan panen perdana," urainya lagi.
Nardo memaparkan, PT PLM diduga telah memenuhi sedikitnya 3 (tiga) Unsur Tindak Pidana, antara lain; Tindak Pidana Pencegahan dan Pemberantasan Kawasan Hutan, Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Perpajakan.
"Pertama, Tindak Pidana Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang diatur dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2013 dan ketentuan Pidana Pasal 92 dan 93, yang dilakukan jajaran Direksi dan Komisaris sejak awal bahkan jajaran yang baru. Kita sudah analisa perubahan-perubahan kepemilikan perusahaan ini. Sehingga Pemilik Manfaat atau Beneficial Ownership tidak akan luput dari objek pemeriksaan lanjutan," sebutnya.
Kedua, lanjutnya, Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999.
"Dan, akumulasi pendapatan terhadap penjualan yang mencapai sekitar R40 Milyar tersebut, patut diduga merupakan hasil dari perbuatan melawan hukum dan dapat disangkakan Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi," tegasnya.
Ketiga, sambung Nardo, perusahaan tersebut juga diduga kuat melakukan pelanggaran untuk menghindari kewajiban perpajakan berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), yang telah diperbaharui dengan UU Harmonisasi Perpajakan Peraturan Perpajakan (UU HPP Nomor 7 Tahun 2021.
"Tindakan yang mencakup kelalaian maupun kesengajaan yang merugikan penerimaan Negara (Perpajakan)," jelasnya.
Nardo mengulas, sejatinya di kawasan kawasan HPT dan HPK itu merupakan habitat tanaman meranti, kompas, daru-daru dan lainnya.
"Ternyata, lahan negara dipakai tanpa izin untuk mencari keuntungan yang mengakibatkan kerugian perekonomian negara," ucap Nardo.
Melalui laporan ini, pihaknya meminta Penyidik Pidana Khusus Kejaksaan segera berkoordinasi melibatkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Ahli Lingkungan Hidup dan Ahli Perekonomian Negara.
"Melalui laporan ini, kami merespon cepat terbitnya Perpres Nomor 5 Tahun 2025 dari Presiden Prabowo dan mendukung Satuan Tugas (Satgas) dalam pemulihan keuangan Negara. Kami berharap, respon Kejati Riau lebih cepat dari respon kami. Kami yakin tentu tidak akan sulit bagi Kejaksaan menjerat ini karena sudah sukses dalam kasus PT Duta Palma," tutup Nardo. (*)