Kasus dana eskalasi, eks tim Banggar minta KPK usut duit 222 milyar yang "nyusup" di APBD-P Riau

ilustrasi

Beritariau.com, Pekanbaru - Dana yang terdapat dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) 2015 sebesar Rp222 Milyar untuk membayar hutang eskalasi proyek oleh Pemerintah Provinsi Riau, semakin memanas.

Seluruh penegak hukum baik yang di Riau maupun di Jakarta yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), didesak segera menyelidiki.

Anggota DPRD Riau ‎Riau dari Fraksi Hanura HM Adil bahkan mendesak sesama koleganya agar kasus ini segera dilaporkan ke KPK.

"Saya mendesak agar semua kawan-kawan yang di DPRD Riau bersepakat untuk segera melaporkan dugaan korupsi dana Eskalasi ini, hal ini bertujuan agar lembaga ini (DPRD Riau, red) bersih dan tidak ada lagi yang main-main dengan uang rakyat," kata HM Adil, Senin siang (04/04/16).

Menurutnya, kuat dugaan, di tingkatan pimpinan DPRD Riau ada yang bermain di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk meloloskan dana Eskalasi tersebut.

"Karena saat diparipurnakan, tak ada tercantum dana eskalasi. Namun, tiba-tiba ada tercantum, berdasarkan infromasi yang kita dapat salah satu pimpinan di DPRD Riau datang langsung ke Kemendagri untuk memasukan anggaran tersebut," kata Adil, yang saat itu merupakan anggota Badan Anggaran (Banggar) di DPRD Riau.

"Jika memang dana Eskalasi itu bisa lolos di Kemendagri, apa dasar hukumnya, mereka meloloskan anggaran tersebut, sedangkan di Banggar ditolak hingga di paripurnakan pun tidak ada dana tersebut," tegas Adil.

Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh beberapa wakil rakyat, pertanyaan munculnya dana ini di APBD P itu sebaiknya ditanyakan kepada Noviwaldy Jusman sebagai pimpinan dengan jabatan Wakil Ketua DPRD Riau.

‎Namun, hal ini, dibantah oleh Noviwaldy Jusman yang akrab dipanggil Dedet ini. Menurutnya, kepergiannya ke Kemendagri hanya bersifat koordinasi penyerahan dokumen saja.

"Bohong itu, itu hanya sifatnya koordinasi penyerahan saja," ungkap Dedet.

Sementara itu, dikatakan oleh HM Adil lagi, keterlibatan eksekutif juga sangat besar peranannnya. "Plt Gubri, Plt Sekda Riau juga harus diusut karena mereka yang ngotot agar dana eskalasi ini tetap dianggarkan," tutup HM Adil.‎

 

Diberitakan sebelumnya, Pemerintah Provinsi Riau membayarkan hutang eskalasi sebesar Rp222 milyar lebih ke 8 perusahaan rekanan yang bersumber dari APBD - Perubahan tahun 2015. Belakangan diketahui, ternyata, dana itu tak pernah dibahas oleh Badan Anggaran (Banggar) DPRD Riau dan tiba-tiba sudah masuk tercantum.

Data yang dihimpun Beritariau.com, 1 diantara 8 perusahaan itu adalah PT Duta Graha Indah Tbk (kini Nusa Konstruksi Enjiniring Tbk, red) yang mengangkat mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jend. (Purn) Dr Ir Drs Abdullah Hendropriyono, SH, SE, MBA, MH sebagai Presiden Komisaris.

Ternyata, dalam polemik kasus dugaan korupsi dalam pembayaran hutang eskalasi harga (hasil penghitungan penyesuaian harga, red) oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau ke 8 perusahaan kontraktor sebesar Rp222.895.826.691 pada APBD Perubahan tahun 2015 lalu, 1 diantara 8 perusahaan itu, ternyata PT Duta Graha Indah.

Perusahaan ini ikut menerima pembayaran hutang sekitar Rp49 milyar lebih. Untuk diketahui, basus ini berawal atas adanya permohonan dari 8 perusahaan melalui BANI terkait eskalasi ini adanya selisih perhitungan harga terkait 9 proyek multi years yang dikerjakan.

Akhirnya, melalui putusan No. 352/V/ ARB-BANI/2010 yang dibacakan pada hari Senin tanggal 27 Desember 2010, BANI meminta Pemprov Riau membayarkan hutang eskalasi itu kepada rekanan.

Dalam putusan itu, perusahaan rekanan beralasan, eskalasi harga, harusnya berpedoman kepada Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 Pasal 9 Ayat 1. Dimana, perhitungan eskalasi harga dimulai sejak bulan Desember 2004, yaitu sejak bulan pertama pekerjaan.

Sementara, Pemprov Riau meyakini, berdasarkan Pasal 9 ayat 4 dari kontrak, yang berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 105/ PMK.06/2005 tanggal 9 November 2005 tentang Penyesuaian Harga Satuan dan Nilai Kontrak Kegiatan Pemerintah Tahun Anggaran 2005, eskalasi harga dimulai sejak bulan Oktober 2005 sesuai dengan lahirnya kebijakan moneter terhadap kenaikan bahan bakar minyak (BBM).

Akhirnya, Mahkamah Agung (MA) pun menguatkan putusan BANI tersebut. Melalui putusan Nomor 709 K/Pdt.Sus/2011. Hakim Mahkamah Agung yang diketuai H Muhammad Taufik, SH, MH, menolak keberatan pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau yang diwakili oleh Kepala Dinas Pekerjaan Umum atas putusan banding sebelumnya yang menguatkan putusan BANI.

Putusan itu, mewajibkan Pemprov Riau untuk membayar eskalasi harga pada APBD Perubahan 2015 kepada 8 perusahaan rekanan dengan jumlah total sebesar Rp322.395.826.691.‎

Rinciannya, untuk PT Pembangunan Perumahan (PP) (Persero) Tbk sebesar Rp113.841.020.412, PT Adhi Karya (Persero) Tbk sebesar Rp41.215.592.443, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk sebesar Rp31.504.906.623, PT Hutama Karya (Persero) Tbk berkerjasama dengan PT Duta Graha Indah sebesar Rp49.853.904.365, PT Waskita Karya (Persero) sebesar Rp20.459.969.777, PT Istaka Karya (Persero) sebesar Rp29.580.157.994, PT Modern Widya Technical yang bekerjasama dengan PT Anisa Putri Ragil sebesar Rp11.520.971.085 dan PT Harap Panjang sebesar Rp24.419.304.658.

Dalam perjalanannya, BPKP sendiri justru menyatakan total hutang eskalasi yang harus dibayar sebesar Rp220 Milyar.

Perbedaan angka antara BPKP dan BANI yang dikuatkan MA inilah yang membuat DPRD Riau sengaja tak menganggarkan pembayaran hutang itu di APBD Perubahan tahun 2015 lalu.

Namun, tiba-tiba diketahui, telah dibayarkan oleh Pemprov Riau dengan alasan adanya rekomendasi dari DPRD dalam pengusulan itu. ‎Usut punya usut, ternyata, Banggar DPRD Riau sendiri waktu itu mengaku tak pernah membahas.

Atas pembayaran hutang 9 proyek multi years yang diduga tak sesuai prosedur yakni tanpa pembahasan di Badan Anggaran (Banggar) itu, puluhan anggota DPRD Riau mulai mengumpulkan tanda tangan menggunakan Hak Angket memanggil Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Riau.

"Bukan belasan lagi yang ikut (Hak Angket, red), tapi puluhan. Sudah Kuorum karena dalam Tatib (Tata Terbit, red), sedikitnya 10 orang anggota," kata Anggota DPRD Riau H Muhammad Adil kepada ‎Beritariau.com, Rabu (23/03/16).

Dijelaskannya, kasus ini sebenarnya kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor, red) yang besar. Lantaran ada dugaan penyalahgunaan wewenang yang menguntungkan orang lain.‎

"Ini sudah jelas tipikor. Hutang itu memang akan dibayar. Namun, ada perbedaan jumlah. Dimana versi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebesar Rp220 milyar, sedangkan versi Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebesar Rp320 milyar. Jadi, tak kita anggarkan. Kita tunggu sampai cocok dan ada dasar hukum. Kok tiba-tiba masuk ke Kemendagri dan dibayar tanpa dibahas," jelas Adil.

Bahkan, melalui salah satu media harian, Selasa (22/03/16) kemarin, ‎Adil mengaku mendapat kabar ada fee (komisi, red) sebesar 2 persen yang diberikan kepada oknum-oknum yang terlibat dalam skenario meloloskan duit itu.

"Tunggu dan ikuti perkembangannya. Yang terlibat, siap-siap saja. Aparat hukum harus mengusut," pintanya.

Temuan mencurigakan ini juga disampaikan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau. Dikatakan, berdasarkan PP Nomor 70, pembayaran hutang tak boleh melebih 10 persen dari total nilai proyek.[red]‎