Terus Berinovasi untuk Selamatkan Energi di Dalam Negeri

Oleh: Anastasia Dwi Indrastuti 

Kebutuhan energi  di masyarakat terus bertambah, seiring dengan laju pertumbuhan penduduk di Indonesia. PT Pertamina (Persero) sebagai salah satu penyedia energi yang besar di Indonesia terus berupaya untuk memenuhi kebutuhan ini melalui berbagai cara. Diantaranya dengan melakukan inovasi produk maupun dengan mencari sumber-sumber energi baru.

Tahun 2015 ini menjadi istimewa bagi masyarakat Pekanbaru karena kehadiran dua produk inovasi dari PT Pertamina (Persero). Di sektor rumah tangga, kehadiran Bright Gas kemasan 12 kg menjadi inovasi terbaru untuk memenuhi kebutuhan masyarakat urban.

Bright Gas ini mulai dipasarkan oleh PT Pertamina (Persero) Wilayah Operasi Pemasaran I pada bulan Agustus 2015. Tabung gas premium ini dikeluarkan dengan tampilan yang cantik dan menawarkan beragam pilihan warna. Ada empat warna yang bisa dipilih yaitu biru, hijau, ungu dan merah jambu.

Dengan empat pilihan warna ini, sangat pas jika Pertamina menyasar segmen konsumen menengah atas yang memperhatikan penampilan atau desain interior untuk area dapur. Karena tabung gas elpiji bisa disesuaikan dengan interior dapur.

Sebagai produk premium, Bright Gas dijual sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan elpiji 12 kg konvensional (warna biru). Kepala Pertamina Perwakilan Sumbar-Riau, Ardyan Adhitia menyebutkan, harga jual Bright Gas 12 kg dipatok Rp 145.300 atau selisih Rp 3.000 dari tabung 12 biasa (warna biru). Namun dengan tingkat keamanan yang lebih baik, selisih harga tersebut tak terlalu signifikan.

Tabung Bright Gas dilengkapi dengan Double Spindle Valve System (DSVS) atau katub pengaman ganda sehingga pengguna bisa merasa dua kali lebih aman dari kebocoran gas. Apabila salah satu katup rusak, maka gas tidak akan langsung keluar dari tabung, melainkan tertahan oleh katup pengaman lainnya.

Dari sisi kemudahan penggunaan, Bright Gas juga dilengkapi dengan gambar petunjuk yang mudah untuk diikuti. Sedangkan dari sisi kualitas gas juga sangat terjamin. Komposisinya terdiri dari gas propane (C3H8) dan butane (C4H10) yang telah memenuhi standar mutu bahan bakar gas.

Kehadiran Bright Gas ini semakin melengkapi beberapa varian kemasan produk elpiji yang sudah hadir sebelumnya. Seperti elpiji 3 kg (subsidi) yang menjadi ujung tombak program konversi minyak tanah ke elpiji. Juga elpiji non subsidi berukuran 12 kg dan 50 kg untuk komersil, serta elpiji Bulk untuk kalangan industri.

Inovasi dari Pertamina masih berlanjut. Pada bulan Oktober 2015, Pertamina kembali lagi meluncurkan inovasi Bright Gas dengan kemasan 5,5 kg. Sayangnya inovasi terbaru ini belum sampai ke Pekanbaru, karena baru dipasarkan di wilayah Jabodetabek.

Mengetahui kabar peluncuran Bright Gas 5,5 kg, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Pekanbaru tak mau ketinggalan. Mereka pun sudah mengajukan permintaan untuk mensuplai gas cantik tersebut. Meskipun belum ada tanda-tanda kapan akan sampai ke Pekanbaru.

Kepala Bidang Perdagangan Disperindag Kota Pekanbaru, Mas Irba H Sulaiman  mengatakan, Bright Gas ukuran 5,5 kg ini bisa menjadi satu solusi yang tepat bagi konsumen di Pekanbaru. Terutama bagi yang membutuhkan elpiji dengan kemasan lebih ringan dan praktis serta harga yang terjangkau. Setelah diluncurkan, harga jual gas ini Rp 62 ribu per tabung, artinya masih lebih terjangkau daripada elpiji 12kg yang harganya di atas Rp 100 ribu.

Bright Gas 5,5 kg juga bisa menjadi solusi untuk mengatasi kelangkaan elpiji 3 kg yang sering kali terjadi di Pekanbaru. Karena banyak masyarakat menengah yang sebenarnya tak berhak menggunakan gas elpiji bersubsidi dan mau beralih ke gas cantik dari Pertamina.

Direktur Pemasaran Pertamina, Ahmad Bambang juga berharap, Bright Gas 5,5 kg dapat efektif untuk menangkap masyarakat pengguna elpiji 3 kg yang tak layak mendapatkan subsidi.

“Seharusnya kan malu, masyarakat kaya tapi masih pakai elpiji 3 kg,” katanya.

*Pertalite, Inovasi Cerdas untuk Mesin yang Awet

Inovasi lainnya dari Pertamina yang dalam tahun ini masuk ke pasar Pekanbaru adalah produk bahan bakar minyak (BBM) dengan jenis Research Octane Number (RON) 90 atau Pertalite. Pekanbaru menjadi kota pertama di luar Pulau Jawa yang mengusulkan menjual Pertalite.

Kabid Perdagangan Disperindag Pekanbaru Mas Irba Sulaiman menjelaskan, Pekanbaru menjadi salah satu kota yang layak sebagai tempat penjualan Pertalite. Karena dinilai sebagai daerah perlintasan yang banyak dilalui berbagai kendaraan dari daerah lain di Sumatera.

Hal senada diungkapkan Senior Supervisor External Relation Pertamina Region I Sumatera, Zainal Abidin, beberapa hari setelah uji coba pangsa pasar 11 Oktober lalu.

"Kota Pekanbaru menjadi tolak ukur Pertamina dalam memasarkan produk Pertalite di Provinsi Riau. Ini tergantung penilaian pasar di Kota Pekanbaru apakah berhasil atau tidak," jelasnya.

Hal ini pun terbukti. Antusiasme pasar cukup positif dan Pertalite makin diterima masyarakat. Buktinya, SPBU yang menjual bensin RON 90 ini makin bertambah. Brasto Galih Nugroho, Communication and Relations Sumbagut PT Pertamina (Persero) Marketing Operation Region I mengatakan, data terakhir bulan November ini mencatat ada 20 dari 147 SPBU di Riau yang menjual Pertalite.

Dengan rincian, 12 SPBU ada di Pekanbaru, dua SPBU di Dumai , tiga SPBU di Kampar dan Rohul serta Inhu masing-masing ada satu SPBU. Sedangkan untuk area MOR I yang meliputi Aceh, Sumut, Sumbar, Riau dan Kepri ada 148 SPBU yang menyediakan Pertalite.

Ditargetkan, Pertalite sudah hadir di 200 SPBU pada akhir tahun 2015 ini. Khusus di Riau, targetnya tahun ini Pertalite tersedia di 30 persen SPBU.

Bensin inovasi terbaru ini menawarkan kualitas di atas Premium namun dengan harga di bawah Pertamax. Produk ini dikeluarkan Pertamina agar masyarakat punya pilihan dalam memilih BBM yang lebih baik dan ramah lingkungan.

Pertalite tidak mengandung mangan atau besi dan tidak ada kandungan timbal. Selain itu, kandungan sulfurnya lebih rendah dari 500 ppm karena Pertalite hanya mengandung sulfur 188 ppm. Jelas saja ini sangat rendah bila dibandingkan dari spesifikasi yang diharuskan oleh Ditjen Migas.

Sesuai dengan namanya, Pertalite memiliki kadar oktan atau level Research Octane Number (RON) 90. Dengan level tersebut, pembakaran pada mesin kendaraan akan jadi lebih baik, dibandingkan dengan Premium yang memiliki RON 88. Jadi bensin ini cocok dipakai untuk kendaraan, mulai dari roda dua, hingga kendaraan serba guna ukuran menengah.

Munculnya varian Pertalite merupakan hasil inovasi dalam penyediaan energi bagi masyarakat.yang tak hanya baik untuk mesin kendaraan, tetapi juga lebih ramah lingkungan dibandingkan Premium.

"Pertalite hadir buat konsumen yang menginginkan kualitas lebih baik dan hasil pembakaran lebih bagus," tambah Brasto.

Hasil pembakaran yang baik akan menjaga performa mesin dan membuat usia kendaraan jadi lebih tahan lama. Dengan tarikan kendaraan yang lebih kencang dan halus, berkendara jadi lebih nyaman.

Pertalite ini sebenarnya sudah mulai diluncurkan pada 24 Juli 2015 dengan area penjualan di Jakarta dan Bandung. Mendapat respon positif, area pemasarannya semakin meluas ke berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Riau.

Pada awal mulanya, peluncuran produk ini dilatarbelakangi strategi efisiensi dari Pertamina. Dengan Pertalite,Pertamina berharap bisa mengurangi beban dari subsidi Premium. Dimana kala itu harga Premium bersubsidi Rp 7.400 untuk wilayah Jawa-Madura-Bali. Jika harga tanpa subsidi seharusnya Rp 8.300 per liter, maka kerugian yang ditanggung Pertamina mencapai Rp 12,6 triliun (kebutuhan 80ribu kiloliter per hari).

Tak disangka-sangka, Pertalite rupanya bukan hanya mampu mengurangi kerugian Pertamina tetapi justru jadi jurus ampuh untuk menjaring konsumen premium. VP Corporate Communication, Wianda Pusponegoro mengatakan, ada perpindahan masyarakat pengguna Premium (RON 88) ke Pertalite (RON 90).

“Secara nasional (perpindahan) mencapai 13 persen. Kita lihat, masing-masing SPBU penjualannya bagus. Per hari 3.000 liter rata-rata secara nasional,” kata Wianda.

Sebagai alternatif bensin, Pertalite semakin melebarkan sayap ke nusantara dengan hadir di 1.250 SPBU di Tanah Air. Hampir semua provinsi sudah ada, terutama Jawa. Tinggal yang belum itu Maluku dan Papua.

Selain meluncurkan inovasi berupa varian baru bensin RON 90, perusahaan plat kuning ini juga berinovasi melalui pelayanan yang semakin mendekat ke konsumen. Salah satunya dilakukan dengan mengoperasikan 34 mobil pengisian Bahan Bakar Gas (BBG).

Sayangnya, lagi-lagi layanan ini belum sampai ke Pekanbaru karena keterbatasan konsumen pemakai BBG. Stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) berkapasitas 30 ribu Lsp ini tersebar di wilayah Jabodetabek, Palembang, Semarang, Balikpapan, termasuk tujuh MRU Pertamina yang ada di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya.

* Genjot Pemanfaatan Energi BaruTerbarukan (EBT)

Inovasi yang dilakukan Pertamina bukan hanya dari sisi inovasi produk dan layanan. Tetapi juga arah bisnis yang berfokus pada pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT).

Hingga saat ini, pemenuhan energi di Indonesia masih sangat tergantung dengan sumber energi fosil, seperti batu bara dan minyak bumi. Dan tak bisa dipungkiri lagi bahwa sumber energi fosil ini semakin lama akan semakin menipis.

Karena itu Pertamina berinovasi dengan cara terus menggenjot pengembangan dan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT). Vice President Corporate Communication Pertamina, Wianda Pusponegoro mengatakan, Pertamina tidak lagi menjadi perusahaan yang hanya fokus di sektor minyak dan gas, tapi juga merambah ke segala sumber energi.

"Seperti namanya, Pertamina sekarang dikenal sebagai Pertamina Energi," ungkap dia setelah acara Gebyar Energi Pertamina di atrium Tunjungan Plaza III, Surabaya, akhir pekan lalu.

Saat ini, Pertamina tengah fokus dalam pengembangan dua energi baru, yaitu produksi energi listrik dan energi biofuel dari sumber terbarukan. Pada 2019, proyek-proyek pengembangan menggunakan energi yang ramah lingkungan tersebut ditargetkan bakal rampung.

Dalam perkembangannya, Pertamina juga fokus melakukan pengembangan geothermal (pembangkit listrik tenaga panas bumi) 907 mw, energi surya (60 mw), angin (60 mw), laut (3 mw), dan biomassa (50 mw).

Kepala Pusat Penelitian Panas Bumi Universitas Gadjah Mada (UGM), Pri Utami mengatakan, pontensi geothermal di Indonesia masih cukup besar, yakni 20 ribu MW. Dengan melihat potensi ini, target Pertamina untuk mendapatkan 907 mw, tentunya bukan angan-angan semata.

Begitu juga dengan energi terbarukan berupa energi surya. Indonesia memiliki keuntungan besar berada di negara beriklim tropis. Sehingga Indonesia menjadi salah satu negara yang mempunyai cadangan energi surya terbesar di dunia.

Potensi energi surya ini bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kegiatan produksi serta mengurangi kebergantungan pada energi fosil, yang selama ini telah menguras keuangan negara.

Di sela-sela pameran produk panel surya Matahari Power 2015 di Jakarta, Selasa (24/11) kemarin, beberapa beberapa perusahaan nasional menyatakan siap mendukung rencana pemerintah meningkatkan porsi penggunaan energi surya untuk memenuhi target bauran energi terbarukan pada 2025.

Saat ini, mereka mengklaim mampu menyediakan panel surya yang kuat dan efisien dengan kapasitas produksi 50 megawatt per tahun, yang selanjutnya akan ditingkatkan menjadi 200 megawatt. Produk-produk itu dibuat dengan standar teknologi yang tinggi dengan tingkat kandungan yang lokal yang tinggi pula.

Masih ada lagi potensi dari sumber energi terbarukan berupa biofuel dengan fokus pada green diesel, green gasoline, bio etanol, bio avtur, serta bio LNG plant. Ketika potensi bahan bakar fosil global menipis, potensi biofuel menempati tempat penting dalam perang energi global.

Pontensi ini masih terbuka lebar karena Indonesia sebagai negara dengan kekayaan sumber daya alam yang besar, juga memiliki potensi biofuel (bahan bakar nabati) terbesar kedua di dunia setelah Brasil.

Dalam laman resminya, mantan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro mengatakan peluang untuk mengembangkan potensi biodiesel di Indonesia cukup besar. Terutama untuk substitusi minyak solar mengingat saat ini penggunaan minyak solar mencapai sekitar 40 persen dari total penggunaan BBM untuk sektor transportasi. 

Sementara penggunaan solar pada industri dan PLTD adalah sebesar 74 persen dari total penggunaan BBM pada kedua sektor tersebut.

"Indonesia memiliki beranekaragam tanaman yang dapat dijadikan sumber bahan bakar biodiesel seperti kelapa sawit dan jarak pagar" papar mantan menteri di kabinet gotong royong ini.

Biodiesel juga memiliki kualitas mirip dengan petroleum-based biodiesel yang dapat digunakan pada kendaraan bermesin diesel tanpa perlu modifikasi. Bahkan tidak mengurangi performa mesin. Selain itu teknologinya sudah cukup matang dan bisa ditangani langsung oleh SDM dalam negri.

Melihat pontensi yang masih terbuka lebar dari sumber energi non fosil yang dimiliki Indonesia, PT Pertamina (Persero) ditantang untuk mampu pengembangan dan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) untuk menyelamatkan kebutuhan energi di dalam negri.

* Perlu Sinergitas dengan Berbagai Pihak

Untuk mencapai keberhasilan dalam memenuhi energi di dalam negri, Pertamina tak bisa berjalan sendiri. Butuh sinergitas dengan berbagai pihak, termasuk dari pemerintah dan masyarakat yang menjadi konsumen energi.

Pertamina membutuhkan iklim dunia usaha yang kondusif dan kebijakan dari pemerintah yang mendukung. Sehingga bisa tetap berkarya demi memenuhi kebutuhan energi dalam negri yang berkualisa.  

Sedangkan bersama masyarakat, Pertamina telah menjalankan berbagai upaya edukasi untuk menjadi bijak dalam menggunakan energi. Diantaranya melalui program Sobat Bumi yang menyentuh generasi muda di sekolah-sekolah. Selain itu juga melalui workshop dan berbagai pameran energi di berbagai penjuru kota di Indonesia.

Namun selain melaksanakan program milik sendiri, Pertamina juga bisa menggandeng berbagai pihak untuk melakukan sosialisasi hemat energi. Seperti merangkung mahasiswa Universitas Binu yang berhasil membuat animasi 3D bertajuk Ayo Hemat Energi.

Berbagai upaya yang dilakukan PT Pertamina (Persero) ini sejalan dengan dinamika perubahan ketersediaan energi nasional. Untuk menjamin ketersedian energi nasional, diperlukan Sistem Ketahanan yang mengacu pada Kebijakan Pengembangan Energi.

Dan ini sesuai dengan Undang-Undang Energi Nomor 30 Tahun 2007, tentang pembentukan Dewan Energi Nasional dan energi memiliki peran bagi peningkatan Kegiatan Ekonomi dan Ketahanan Nasional.

Menurut definisi dari International Energy Agency (IEA), ketahanan energi adalah ketersediaan sumber energi yang tidak terputus dengan harga yang terjangkau.

Karena minyak bumi terus menipis, diperlukan sumber alternatif demi tercapainya energi berkelanjutan. Dengan kata lain, adanya diversifikasi penggunaan energi. Variasi dalam memanfaatkan energi akan mengurangi ketergantungan pada minyak. [*]